Ruangan
itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali
yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu di sana masih menyala
karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati meja di dekat jendela
itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang
bekerja.Alissa Umari, duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan
dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang
tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa
ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak
berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun! Ia
memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke bawah, memerhatikan
mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota Paris dengan tatapan menerawang.
Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan
sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja.
“Ke mana saja kau?” desis Ify sambil
mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye.
“Kau
bicara dengan ponsel?”Ify
mengangkat wajah dan menoleh. Sivia Azizah,yang baru masuk ke ruangan tersenyum
kepadanya.Via, manis yang berambut pirang emas sebahu, bermata hijau, dan
berhidung berbintik-bintik itu berusia 29 tahun, beberapa tahun lebih tua dari pada
Ify, tapi secara fisik wanita itu tidak terlihat seperti wanita Eropa
seusianya. Perawakannya kurus, kecil, dan dengan wajah seperti gadis remaja. Di
satu sisi Via menyukai kenyataan itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda?
Tapi di sisi lain ia dongkol setengah mati kalau ada orang yang menganggap
remeh dirinya karena berpikir ia masih remaja ingusan.
“Sudah
selesai siaran?” tanya Ify ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan,
menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.Via mengangguk dan berjalan ke meja
kerjanya yang persis di depan meja tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran
sejak...,” ia melirik jam dinding, “satu setengah jam yang lalu?” tanya Via dengan
alis terangkat.
Ify
mendesah. “Memang,” jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di
meja, lalu mendesah keras sekali lagi.
Mereka
berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di Paris. Via
lebih senior daripada Ify dan siaran utama yang ditanganinya adalah Je me
souviens —aku mengenang, yaitu acara yang membacakan surat-surat dari para
pendengar, sementara Ify membawakan program lagu-lagu populer dan tangga lagu
mingguan.
“Hei,
kenapa lesu begitu?” tanya Via sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Ify dengan
bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?”Ify
mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang paling
disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi
hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.
“Ooh...
aku mengerti,” kata Via tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Ify
menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan
sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. “Lupakan saja,”
katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia
melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.
“Via, ayo kita pulang sekarang,”
katanya. “Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya.Via menatap
temannya dengan bingung. “Yang mengasihani diri sendiri itu siapa?”
*
* *
Lima
belas menit kemudian, Ify dan Via sudah berada dalam lift kaca yang membawa
mereka turun ke lantai dasar. Ify berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati
pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan mata. Pada awal
perceraian orangtuanya dua belas tahun lalu, ia tinggal bersama ibunya di
Jakarta. Empat tahun kemudian, ketika berumur enam belas, ia memutuskan pindah
ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak saat itu, Paris menjadi hidupnya.
Bunyi
denting halus membuyarkan lamunan ify. Mereka sudah tiba di lantai dasar. Ify
keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Ia memarkir mobilnya
di lapangan parkir di luar gedung sementara mobil Via sendiri diparkir di basement.
Tara tidak mendapat fasilitas parkir di basement karena ia tidak
biasanya mengendarai mobil ke mana-mana.
Ia lebih suka naik Metro—kereta bawah tanah di Paris, walaupun ia harus
ekstra hati-hati terhadap tukang copet. Tetapi pagi ini hujan turun cukup
lebat, jadi terpaksa ia naik mobil.Ify
menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Ia baru saja akan
melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri di dekat meja resepsionis di
lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan ia menahan napas, tapi hanya sesaat.
Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu dan kembali melangkah.
Laki-laki
itu melihat Ify berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia tersenyum dan
melambai, tapi Tara mengabaikannya dan mempercepat langkah.
“Mademoiselle-Nona Umari.” Ify mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia keluar
dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir, berusaha keras
mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya. Angin musim gugur menerpa
wajahnya dan Ify merapatkan jaket yang dikenakannya.
“Mademoiselle—Nona
Umari,tunggu sebentar.”Ketika
ia hampir sampai di tempat parkir Mercedes biru kecilnya, tara mengeluarkan
kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali tanda pintu mobil sudah
terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakannya
tertahan.
“Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle?” tanya
laki-laki itu sambil menahan pintu mobil. “Kenapa buru-buru?”
“Mau
apa?” tanya Ify dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya
dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.
Ify
tidak pernah tertarik dengan pria Eropa pada umumnya, dengan rambut pirang,
mata biru, dan kulit putih. Tidak, ia lebih memilih yang berkulit agak gelap
dan rambut gelap, atau setidaknya cokelat. Tetapi anehnya ia menganggap
laki-laki jangkung berambut pirang yang berdiri di sampingnya ini menarik.Laki-laki
itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambutnya yang dipotong rapi jatuh menutupi
dahinya.
“Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku makan malam.”Dasar
laki-laki Prancis! Ify menggerutu dalam hati. Ia mendengus kesal dan melirik
orang di sampingnya. Laki-laki itu sedang membetulkan letak kacamata yang bertengger
di hidungnya dan seulas senyum penuh percaya diri tetap tersungging di
bibirnya, seakan yakin Ify takkan menolak ajakannya. Dasar playboy!Karena
Ify tidak menjawab, pria itu menambahkan, “Aku yang traktir, tentu saja. Kau
boleh memilih restaurannya.”Ify
berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru
“Brengsek kau,Gabriel Daminik! Ke mana saja kau selama ini? Kenapa tidak
meneleponku?”
Senyum
Gabriel Damanik melebar, sama sekali tidak terpengaruh omelan Ify.“Aku
mau makan sate kambing!” kata Ify ketus. Ia bersedekap dan menatap lurus ke
mata Gabriel
*
* *
Di Paris ini ada satu bistro kecil
tidak terkenal yang menjadi kesukaan Ify karena mereka menyajikan masakan
Indonesia, khususnya sate kambing kesukaannya. Bistro itu terletak di
sebuah jalan kecil yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Tidak
banyak orang yang tahu keberadaan bistro itu kecuali beberapa orang yang
menjadi langgangan tetapnya, seperti Ify.Selain ibunya, satu-satunya yang
dirindukan Ify dari Indonesia adalah makanannya. Bukannya Ify pemilih soal
makanan, tapi kadang-kadang ia bosan dengan makanan Prancis dan sate kambing
yang sederhana itu bisa menjadi semacam kemewahan baginya.
Lain
halnya denganGabriel. Laki-laki itu tidak terlalu suka sate kambing atau
masakan Indonesia. Singkatnya, ia tidak terlalu suka makanan lain selain
makanan Eropa. Sewaktu membiarkan Ify memilih, ia tahu benar Ify akan memilih bistro
ini karena gadis itu penggemar berat sate kambing. Tidak apa-apa. Kali ini Gabriel
mengalah. Ia lebih suka melihat Alissa Umari yang sibuk makan sate kambing
dengan gembira daripada Alissa Umari yang pura-pura tidak mengenal dirinya.
Karena itu Gabriel harus puas dengan nasi goreng yang dipesannya. Setidaknya
makanan itu kelihatannya lumayan.
“Jadi,” kata Ify dengan mulut yang
masih agak penuh. Ia mengunyah sebentar, menelan, lalu melanjutkan, “Ke mana
saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau
menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa
menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli
ponsel? Untuk menelepon?”
Gabriel
tidak segera menjawab. Ia menahan senyum
dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih suka Alissa
Umari yang cerewet daripada Alissa Umari yang pura-pura tidak mengenalnya.“Aku
tahu apa yang sedang kaupikirkan.
Jangan coba-coba mengataiku cerewet,” ancam Ify
sambil meraih setusuk sate lagi dan menatap Gabriel dengan mata disipitkan.
Mereka
berdua sudah berteman sejak Ify pindah ke Paris. Mereka bertemu untuk pertama
kalinya ketika Gabriel diajak menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Ify
di Quartier Latin. Gabriel pernah mengaku pada Ify bahwa pada awalnya ia
berpikir gadis itu anak angkat karena Ify berbeda sekali dengan ayahnya. Ayah Ify,
Ferdy Umari, adalah tipikal orang Eropa, jangkung, tampan, dengan rambut
cokelat terang, hidung mancung, mata kelabu, dan kulit putih pucat.Pada
awalnya Gabriel tidak terlalu peduli pada Ify karena menganggap gadis itu hanya
orang asing yang belum bisa berbahasa Prancis, tapi ia salah. Bahasa Prancis Ify
tanpa cela dan Gabriel langsung kagum, apalagi setelah tahu selain bahasa
Prancis dan Indonesia, gadis itu juga menguasai bahasa Inggris. Mereka berdua
anak tunggal, orangtua mereka sudah bercerai walaupun masih berhubungan baik,
dan mereka tinggal bersama ayah mereka.
“Halo?
Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai salju turun?”
Gabriel
mengangkat wajah dan mendapati Ify
sedang menatapnya dengan alis terangkat.
Gabriel
mengangguk. “Waktu itu ayahku sedang ada
di Tokyo untuk urusan kerja. Hari Sabtu lalu, hari kau kembali ke Paris, aku
mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah
rapat.”
“Oh.”
Gabriel mengangkat sebelah tangan.
“Tidak usah cemas,”
selanya cepat ketika melihat raut wajah Ify berubah prihatin. “Ayahku hanya
kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku harus
langsung terbang ke Tokyo untuk menggantikannya. Aku sudah pernah cerita
tentang rencana pembangunan hotel di sini yang bekerja sama dengan Jepang,
bukan?”Ify
mengangguk. Ia ingat Gabriel pernah
menyebut-nyebut tentang proyek itu. Perusahaan arsitek ayah Gabriel akan
bekerja sama dengan perusahaan Jepang untuk membangun hotel di Paris.
“Karena
ayahku harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit, aku yang harus
melanjutkan pekerjaannya,” Gabriel meneruskan. “Aku tidak punya banyak waktu
luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan waktu yang besar antara Jepang
dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk menghubungimu.”
“Di
mana ayahmu sekarang?”
“Sudah
sehat dan kembali bekerja seperti biasa,” sahut Gabriel, lalu mengangkat bahu
dan tersenyum lebar. “Ayahku itu tipe orang yang tidak bisa diam.”
Tara
mengangguk-angguk, lalu menunduk memandang makanannya. Ia agak menyesali sikap
gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada kabar baru apa lagi dari Indonesia?”
tanya Gabriel. Ia memang tidak mengenal keluarga Ify yang ada di Indonesia,
tapi ia suka mendengar gadis itu bercerita.
“Kabar baru apa ya?” gumam Ify
sambil menekan-nekan bibirnya dengan ujung sendok. “Aku bertemu sepupuku.”
“Sepupumu
yang mana?”
“Yang tinggal di Korea. Aku baru tahu
ternyata pacarnya artis,” sahut Ify, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan,
“Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Jepang? Kau bertemu gadis Jepang
cantik di sana?”
Gabriel
menjentikkan jarinya.
“Ah, aku hampir lupa memberitahumu.”
“Apa?”
Ify mengerutkan kening dan langsung waswas. Tadi ia hanya sekadar bertanya,
tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah cinta Gabriel dengan gadis Jepang
atau gadis mana pun.
“Aku
punya teman di Jepang,” Gabriel memulai. “Namanya....
***
Stop sampai sini dulu deh yaa hehe.Sekali Lagi ini hanya repost dari Novel karangan Ilana Tan ya gaisbuat kak ilana pinjam yaa hehehe .Aku repost ini soalnya ceritanya menarik Sempet salah nebak kalo endingnya itu bakal gini tapi nyatanya..... -rahasia deh- :p
Oh iya tapi disini nama tokohnya aku ambil dari nama- nama anak IC heheh buat anak Ic pinjam nama ya._.v maklum lumayan sering kadang kalo waktu luang baca FF anak ICL yang copel 'itu' -nanti juga tahu coupel itu,ga seru kalo aku sebut - *berasa ada yang baca* jadi yaa suka gitu deh yaa. sama 1 coupel anak IC muahehe
Btw siapa yaa itu temanya gabriel?Laki- laki atau perempuan?Terus cerita ibi bakal coupel siapa ya?mintanya siapa coba? :p
Oh iya kalo ada yang baca komen doms hehehe *plakk ..Oke see you next part gais!
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih apresiasinya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)