Saturday 16 June 2012

Autumn in paris by ilana tan capter 1 (versi IC)


Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu di sana masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang bekerja.Alissa Umari, duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun! Ia memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke bawah, memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota Paris dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja.

“Ke mana saja kau?” desis Ify sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat oranye.
“Kau bicara dengan ponsel?”Ify mengangkat wajah dan menoleh. Sivia Azizah,yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya.Via, manis yang berambut pirang emas sebahu, bermata hijau, dan berhidung berbintik-bintik itu berusia 29 tahun, beberapa tahun lebih tua dari pada Ify, tapi secara fisik wanita itu tidak terlihat seperti wanita Eropa seusianya. Perawakannya kurus, kecil, dan dengan wajah seperti gadis remaja. Di satu sisi Via menyukai kenyataan itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda? Tapi di sisi lain ia dongkol setengah mati kalau ada orang yang menganggap remeh dirinya karena berpikir ia masih remaja ingusan.
“Sudah selesai siaran?” tanya Ify ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.Via mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja tara. “Bukankah kau sudah selesai siaran sejak...,” ia melirik jam dinding, “satu setengah jam yang lalu?” tanya Via dengan alis terangkat.
Ify mendesah. “Memang,” jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.
Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di Paris. Via lebih senior daripada Ify dan siaran utama yang ditanganinya adalah Je me souviens —aku mengenang, yaitu acara yang membacakan surat-surat dari para pendengar, sementara Ify membawakan program lagu-lagu populer dan tangga lagu mingguan.
“Hei, kenapa lesu begitu?” tanya Via sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Ify dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?”Ify mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.
“Ooh... aku mengerti,” kata Via tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Ify menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. “Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.
“Via, ayo kita pulang sekarang,” katanya. “Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya.Via menatap temannya dengan bingung. “Yang mengasihani diri sendiri itu siapa?”

* * *

Lima belas menit kemudian, Ify dan Via sudah berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun ke lantai dasar. Ify berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan mata. Pada awal perceraian orangtuanya dua belas tahun lalu, ia tinggal bersama ibunya di Jakarta. Empat tahun kemudian, ketika berumur enam belas, ia memutuskan pindah ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak saat itu, Paris menjadi hidupnya.
Bunyi denting halus membuyarkan lamunan ify. Mereka sudah tiba di lantai dasar. Ify keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Ia memarkir mobilnya di lapangan parkir di luar gedung sementara mobil Via sendiri diparkir di basement. Tara tidak mendapat fasilitas parkir di basement karena ia tidak biasanya mengendarai mobil ke mana-mana.  Ia lebih suka naik Metro—kereta bawah tanah di Paris, walaupun ia harus ekstra hati-hati terhadap tukang copet. Tetapi pagi ini hujan turun cukup lebat, jadi terpaksa ia naik mobil.Ify menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Ia baru saja akan melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri di dekat meja resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan ia menahan napas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu dan kembali melangkah.
Laki-laki itu melihat Ify berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia tersenyum dan melambai, tapi Tara mengabaikannya dan mempercepat langkah.

“Mademoiselle-Nona Umari.” Ify mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya. Angin musim gugur menerpa wajahnya dan Ify merapatkan jaket yang dikenakannya.

“Mademoiselle—Nona Umari,tunggu sebentar.”Ketika ia hampir sampai di tempat parkir Mercedes biru kecilnya, tara mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali tanda pintu mobil sudah terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakannya tertahan.
 “Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle?” tanya laki-laki itu sambil menahan pintu mobil. “Kenapa buru-buru?”
“Mau apa?” tanya Ify dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.
Ify tidak pernah tertarik dengan pria Eropa pada umumnya, dengan rambut pirang, mata biru, dan kulit putih. Tidak, ia lebih memilih yang berkulit agak gelap dan rambut gelap, atau setidaknya cokelat. Tetapi anehnya ia menganggap laki-laki jangkung berambut pirang yang berdiri di sampingnya ini menarik.Laki-laki itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambutnya yang dipotong rapi jatuh menutupi dahinya.
 “Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku makan malam.”Dasar laki-laki Prancis! Ify menggerutu dalam hati. Ia mendengus kesal dan melirik orang di sampingnya. Laki-laki itu sedang membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya dan seulas senyum penuh percaya diri tetap tersungging di bibirnya, seakan yakin Ify takkan menolak ajakannya. Dasar playboy!Karena Ify tidak menjawab, pria itu menambahkan, “Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restaurannya.”Ify berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru
“Brengsek kau,Gabriel Daminik! Ke mana saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?”
Senyum Gabriel Damanik melebar, sama sekali tidak terpengaruh omelan Ify.“Aku mau makan sate kambing!” kata Ify ketus. Ia bersedekap dan menatap lurus ke mata Gabriel

* * *

Di Paris ini ada satu bistro kecil tidak terkenal yang menjadi kesukaan Ify karena mereka menyajikan masakan Indonesia, khususnya sate kambing kesukaannya. Bistro itu terletak di sebuah jalan kecil yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Tidak banyak orang yang tahu keberadaan bistro itu kecuali beberapa orang yang menjadi langgangan tetapnya, seperti Ify.Selain ibunya, satu-satunya yang dirindukan Ify dari Indonesia adalah makanannya. Bukannya Ify pemilih soal makanan, tapi kadang-kadang ia bosan dengan makanan Prancis dan sate kambing yang sederhana itu bisa menjadi semacam kemewahan baginya.

Lain halnya denganGabriel. Laki-laki itu tidak terlalu suka sate kambing atau masakan Indonesia. Singkatnya, ia tidak terlalu suka makanan lain selain makanan Eropa. Sewaktu membiarkan Ify memilih, ia tahu benar Ify akan memilih bistro ini karena gadis itu penggemar berat sate kambing. Tidak apa-apa. Kali ini Gabriel mengalah. Ia lebih suka melihat Alissa Umari yang sibuk makan sate kambing dengan gembira daripada Alissa Umari yang pura-pura tidak mengenal dirinya. Karena itu Gabriel harus puas dengan nasi goreng yang dipesannya. Setidaknya makanan itu kelihatannya lumayan.

“Jadi,” kata Ify dengan mulut yang masih agak penuh. Ia mengunyah sebentar, menelan, lalu melanjutkan, “Ke mana saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk menelepon?”

Gabriel  tidak segera menjawab. Ia menahan senyum dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih suka Alissa Umari yang cerewet daripada Alissa Umari yang pura-pura tidak mengenalnya.“Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan. 
Jangan coba-coba mengataiku cerewet,” ancam Ify sambil meraih setusuk sate lagi dan menatap Gabriel dengan mata disipitkan.

Mereka berdua sudah berteman sejak Ify pindah ke Paris. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Gabriel diajak menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Ify di Quartier Latin. Gabriel pernah mengaku pada Ify bahwa pada awalnya ia berpikir gadis itu anak angkat karena Ify berbeda sekali dengan ayahnya. Ayah Ify, Ferdy Umari, adalah tipikal orang Eropa, jangkung, tampan, dengan rambut cokelat terang, hidung mancung, mata kelabu, dan kulit putih pucat.Pada awalnya Gabriel tidak terlalu peduli pada Ify karena menganggap gadis itu hanya orang asing yang belum bisa berbahasa Prancis, tapi ia salah. Bahasa Prancis Ify tanpa cela dan Gabriel langsung kagum, apalagi setelah tahu selain bahasa Prancis dan Indonesia, gadis itu juga menguasai bahasa Inggris. Mereka berdua anak tunggal, orangtua mereka sudah bercerai walaupun masih berhubungan baik, dan mereka tinggal bersama ayah mereka.

“Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai salju turun?”
Gabriel  mengangkat wajah dan mendapati Ify sedang menatapnya dengan alis terangkat.
Gabriel  mengangguk. “Waktu itu ayahku sedang ada di Tokyo untuk urusan kerja. Hari Sabtu lalu, hari kau kembali ke Paris, aku mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah rapat.”
“Oh.”

Gabriel  mengangkat sebelah tangan. 
“Tidak usah cemas,” selanya cepat ketika melihat raut wajah Ify berubah prihatin. “Ayahku hanya kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku harus langsung terbang ke Tokyo untuk menggantikannya. Aku sudah pernah cerita tentang rencana pembangunan hotel di sini yang bekerja sama dengan Jepang, bukan?”Ify  mengangguk. Ia ingat Gabriel pernah menyebut-nyebut tentang proyek itu. Perusahaan arsitek ayah Gabriel akan bekerja sama dengan perusahaan Jepang untuk membangun hotel di Paris.
 “Karena ayahku harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit, aku yang harus melanjutkan pekerjaannya,” Gabriel meneruskan. “Aku tidak punya banyak waktu luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan waktu yang besar antara Jepang dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk menghubungimu.”
“Di mana ayahmu sekarang?”
“Sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa,” sahut Gabriel, lalu mengangkat bahu dan tersenyum lebar. “Ayahku itu tipe orang yang tidak bisa diam.”
Tara mengangguk-angguk, lalu menunduk memandang makanannya. Ia agak menyesali sikap gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
 “Ada kabar baru apa lagi dari Indonesia?” tanya Gabriel. Ia memang tidak mengenal keluarga Ify yang ada di Indonesia, tapi ia suka mendengar gadis itu bercerita. 
“Kabar baru apa ya?” gumam Ify sambil menekan-nekan bibirnya dengan ujung sendok. “Aku bertemu sepupuku.”
“Sepupumu yang mana?”
“Yang tinggal di Korea. Aku baru tahu ternyata pacarnya artis,” sahut Ify, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Jepang? Kau bertemu gadis Jepang cantik di sana?”
Gabriel menjentikkan jarinya. 
“Ah, aku hampir lupa memberitahumu.”
“Apa?” Ify mengerutkan kening dan langsung waswas. Tadi ia hanya sekadar bertanya, tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah cinta Gabriel dengan gadis Jepang atau gadis mana pun.
“Aku punya teman di Jepang,” Gabriel memulai. “Namanya....

***

Stop sampai sini dulu deh yaa hehe.Sekali Lagi ini hanya repost dari Novel karangan Ilana Tan ya gaisbuat kak ilana pinjam yaa hehehe .Aku repost ini soalnya ceritanya menarik Sempet salah nebak kalo endingnya itu bakal gini tapi nyatanya..... -rahasia deh- :p
Oh iya tapi disini nama tokohnya aku ambil dari nama- nama anak IC heheh buat anak Ic pinjam nama ya._.v maklum lumayan sering  kadang kalo waktu luang baca FF anak ICL yang copel 'itu' -nanti juga tahu coupel itu,ga seru kalo aku sebut - *berasa ada yang baca* jadi yaa suka gitu deh yaa. sama 1 coupel anak IC muahehe 

Btw siapa yaa itu temanya gabriel?Laki- laki atau perempuan?Terus cerita ibi bakal coupel siapa ya?mintanya siapa coba? :p 

Oh iya kalo ada yang baca komen doms hehehe *plakk ..Oke see you next part gais!

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih apresiasinya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)

 
Kemaridulu Blogger Template by Ipietoon Blogger Template